Sunday, August 3, 2008

Kita

Sayang, kita tak pernah tahu kemana hidup akan mendamparkan kita.

Tapi satu hal yang pasti untukku kau slalu ada.

Sayang, aku tak tahu apakah kebersamaan kita akan ada selamanya

Tapi satu hal yang pasti aku bahagia bersamamu.

Entah seberapa kuat perasaan ini, cinta ini, rindu ini..

Entah sedahsyat apa kelak badai yang akan datang.

Entah serumit apa cerita yang akan kita jalani.

Entah sebengis apa nasib akan mempermainkan.

Tapi satu hal yang pasti, bersamamu aku merasa berarti.


Kita berdua seperti dua kerikil diluasnya padang pasir

Terpanggang panas, tersapu angin, coba bertahan.

Sayang, saat ini aku merasa kita adalah satu.

Kedekatan ini membuat hangat.

Dalam kepasrahan aku bertanya.

Bila hidup seperti aliran air laut

Apakah kelak kita ada dalam satu perahu yang sama.

Perahu yang akan berlayar mencapai tujuan-tujuan.

Yang kelak berlabuh diujung batas cakrawala hidup.


Sayang, orang-orang datang dan pergi.

Tapi bagiku kita abadi

Apapun wujud akhirnya

Friday, June 13, 2008

Kata-kata

Kata-kata
Dimana kamu ?
Biasanya kamu gaduh, berisik dan selalu mengusik
Kamu sudah pergi ya ?
Jangan, sebaiknya jangan pergi, disini sepi.
Ayo ganggu aku lagi, hujani aku.

Kata-kata
Aku salah ya ?
Sorry, aku juga nggak ngerti
Aku butuh kamu, hati ingin diterjemahkan
Dan itu perlu kamu
Aku ingin mengiriminya puisi
Dan itu perlu kamu



Kata-kata
Aku rindu dia
Menurutmu apakah sekarang dia kan mengerti
Bila kukirim kamu untuk mewakili hati


Kata-kata
Buat dia percaya
Bahwa kamu adalah terjemahan hati
Kata-kata bilang padanya
Aku cinta dia

Iya kan ?

Apa
Tanya butuh jawab

Kenapa
Tanya atau marah

Bagaimana
Tanya atau pasrah

Jangan pergi, kamu ada disitu
Jangan mendekat, kamu ada disitu

Aku perlu ruang atau butuh sekat ?
Aku perlu ada atau ingin tak merasa tiada ?

Aku ingin jadi pusat semesta
Aku ingin semuanya ada
Tapi itu butuh kamu atau percuma saja

Jangan pergi, jangan hilang
Meski panggilanku terdengar senyap
Meski aku samar dan seakan lenyap
Aku hanya merasa penat

Kamu bertanya, kenapa selalu aku
Aku juga bertanya, kenapa harus aku
Jangan cari jawab
Jangan dijawab
Mungkin diam nyaman
Mungkin diam tenang

Kita rindu kasih Tuhan
Yang mahal karena tak dirasa
Yang seakan angkuh
karena kita enggan bersujud

Kita masih ada
Kita tidak akan tiada
Iya kan ?

Kita saling cinta
Kita percaya cinta
Iya kan ?

Dan ini tak butuh jawab
Iya kan?

Kembali

Ada masa saat kau tampak mengerti. Tersenyum penuh arti, mengerling atau sekedar ada dalam diam. Aku tak perlu banyak ungkapan dalam kata, dalam syair ataupun lagu darimu. Aku hanya ingin kamu. Kamu yang mendengarkan, kamu yang berusaha keras untuk mengerti, kamu yang bertanya, atau kamu yang mengungkapkan rindu dengan malu-malu. Aku rindu keberadaanmu saat kuterjaga. Merasa ada untuk dan denganmu. Memikirkan arti dari tiap kata-kata saat bersamamu. Ataupun mengartikan tiap bahasa yang kita ucapkan tanpa kata.

Kamu dulu duduk dikursi ini, tempat yang kini aku duduki. Aku hirup udara, mencari-cari aroma yang mungkin membawaku pada kenangan. Membawa kembali pada dirimu yang tertawa oleh leluconku yang garing. Memperhatikan kerut alismu saat sedang tidak mengerti atau curiga. Melihatmu membuang muka saat marah, menangis atau malu. Dan melihat diriku dimatamu.

Mataku menerawang. Ruang yang sama dan perasaan yang sama, tapi jauh tersekat waktu. Aku tersenyum saat melihat lukisan Durga disehelai kertas putih yang kini sudah kecoklat-coklatan. Dulu aku buatkan gambar itu, dan aku bilang padamu bahwa mulai saat ini kau akan selalu terlindungi dari mimpi buruk. Masih ada beberapa buku yang tersusun diatas meja belajar, buku-buku yang kuberikan padamu dihari yang menurut kita istimewa. Kembali kuingat wajahmu yang serius bila sedang membaca, alis yang sedikit megangkat bila menemukan kalimat yang rumit, dan senyummu yang muncul bila kau mendapatkan kata-kata romantis ataupun sentimental.

Dikursi ini pula kita biasa ngobrol hingga larut malam, membicarakan apapun yang melintas dikepala. Bila udara terasa dingin, dengan manja kau lingkarkan sebelah tanganmu padaku, dan kepalamu menyandar dibahuku sementara matamu mengimpi. Wangi rambutmu masih bisa kucium. Aku biasa memainkan helai rambutmu, menciumnya, dan terkadang mengacaknya saking gemas. Jarimu yang lentik masih bisa kurasakan dalam genggaman. Terkadang kita bisa berjam-jam tidak bicara satu sama lain, kita hanya akan mendengarkan desah nafas, detak jantung, mencoba berbahasa tanpa suara. Dan mata kita saling menatap, saling mengerti. Perlahan kita saling berciuman, menikmati sensasi mistis saat bibir kita berpagut. Dan aku hanya bisa mengerang kalah saat cubitanmu mendarat bila aku menciummu penuh nafsu. Kamu tak suka itu. Karena menurutmu ciuman lembut adalah bunga cinta, sedangkan ciuman yang dalam adalah hasrat dan emosi. Aku tidak menyangkalnya, juga tidak membenarkan. Karena bagiku batasan keduanya tak berarti, bukankah cinta tanpa emosi layaknya lilin tanpa nyala api.
Air mata mengalir tanpa isak. Ada sakit, ada luka dan air mata yang sekedar ingin membasuh itu semua. Dingin yang ganjil, perpaduan sepi dan hadirnya kenangan tentangmu. Malam ini tak ada bedanya dengan ribuan malam tanpa atau dengan hadirnya kerlip bintang. Aku terhisap makin dalam, mempertanyakan gerak nasib yang mengenyahkanku dari semua yang kucintai. Apakah hidupku hanya rangkaian sesal dan kehilangan. Rasa getir membuncah, sekelilingku seakan dengan manja menghina. Mengolok-olok kubangan mimpi yang selama ini ingin terpenuhi. Mimpi-mimpi simbolik, ikatan kental antara harapan dan ketakutan. Dan disanalah kutempatkan dirimu dengan anggun, merajai singgasana khayal dan bawah sadar. Baru kusadari semua ini, saat kau pergi.

Kau bilang ingin cinta yang sederhana. Sederhana ? aku tertawa melecehkan. Apakah cinta itu bisa sederhana, bila kesederhanaan itu kau tuntut. Kamu diam. Matamu tertuju pada pintu kamar, mungkin menurutmu aku akan melangkah keluar, seperti yang biasa terjadi disaat seperti ini. Tidak. Aku takkan melakukannya, meski langkah itulah yang sedari tadi ingin kulakukan . Tidak akan kulakukan itu, karena aku tidak ingin membenarkan apa yang ada dalam pikiranmu. Akulah yang memegang tali kekang. Kamu seharusnya tahu, hubungan ini perlu kendali. Dan bila kau tak bisa berikan itu, maka ikutlah padaku. Demi kita. Demi aku.

Dan kamu tetap diam. Tak membenarkan juga tak berani menyalahkan. Apakah sikap diam itu berarti mengerti, mengalah, atau pasrah. Diam tanpa sikap, kebiasaanmu yang paling kucintai sekaligus kubenci. Aku tertawa, kali ini entah apa yang kutertawakan, tapi semua ini sangatlah menggelikan. Butuh jutaan tahun bagi manusia untuk berevolusi, dari mulai hanya kumpulan sel tunggal dikolam panas, hingga saatnya merangkak untuk kemudian berjalan tegak (manusia selalu benci dengan teori Darwin, terhina dianggap bermoyang monyet. Takutkah mengakui bahwa didalam diri kita ada sifat binatang). Butuh berapa juta tahun cahayakah, hingga akhirnya manusia tak lagi berlindung dari prasangka dan kemunafikan. Apakah tanpanya kita merasa telanjang dan malu. Bukankah moyang kita dulu telanjang. Bukankah kejujuran itu harus telanjang. Ah, pertanyaan itu bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri. Dan kata telanjang itu diotakku yang sebesar kacang merah hanya membuat penisku ereksi. Telanjang bagiku berwujud puting payudara dan rambut yang mengelilingi clitoris Betapa sederhananya aku dibandingkan hewan. Karena nalurilah yang pada akhirnya mengambil peran. Lupakan filsafat, moralitas, dan etika. Karena kita hanyalah hewan yang pintar mencari pembenaran, bukan kebenaran.

Seteguk arak beras membuat perutku hangat, hangatnya menyebar, betapa kesenangan kini mulai mahal dan tak murni. Tawa kini tak bisa berderai lepas tanpa ditemani alkohol. Begitu pun kesedihan, air mata tak lagi nikmat. Mengalir tanpa isak dan membuat jengah. Beban yang harusnya tumpah bersama air mata, ternyata semakin menumpuk saat butiran air itu mengering tersapu angin.

“Aku mencintaimu”.

“Maafkan aku.”

Sekelilingku berpendar. Ruangan ini memudar. Tapi bayangmu makin jelas, hangat nafasmu sebening gelas kristal tertimpa cahaya lampu neon. Hatiku tertohok, sesak oleh sakit yang ku tak tahu mengapa. Aku berdiri agak terhuyung, reaksi alkohol telah membuatku hilang keseimbangan. Dan ternyata saat kita tak lagi peduli pada keseimbangan, suara malam layaknya simfoni agung. Paduan suara jangkrik dihalaman depan kini mulai bisa dimengerti. Seperti suara panggilan, panggilan kerinduan, undangan, dan kehilangan. Mereka saling berbalas, memberikan kabar atau sekedar sapaan, atau mereka semua menertawakanku ? Dan aku tertawa miris, aku mulai gila, atau aku ada dibatas kegilaan, batas tipis yang membuat kalang-kabut mahluk bernama manusia. Apakah kegilaan adalah saat kita mempertanyakan kesadaran ? Bukan. Kegilaan bukan berarti tak sadar, bukankah kita selama ini melakukan dengan atau tanpa sadar apa yang diperintah bawah sadar. Bukan. Kegilaan tak harus menyalahkan alam bawah sadar. Adakah alam bawah sadar dalam kegilaan ? Barangkali kegilaan adalah kesadaran untuk berani lepas dari dogma tentang kesadaran yang telah dijejalkan ke otak usang kita selama ini.. Mengenyahkan semua ikatan duniawi. Saat mengaku waras kita menganggapnya khayal, tapi apa yang terjadi bila khayal itu lebih nyata dari apa yang kita anggap kenyataan ? Ah…aku terlalu mabuk untuk menjawab. Tapi bahkan saat tak mabuk pun aku tak pernah bisa menjawab. Semuanya adalah tanya, dan jawaban adalah sebuah pertanyaan yang baru lahir.

Aku rebah disofa disudut ruangan. Kumatikan lampu hingga gelap yang nikmat tidak menyisakan ruang. Aku ingin sendiri. Aku ingin tak ada.
“Aku mencintaimu dengan sepenuh benci.”
“Rasakan, tubuh kita bersatu, mengapa kenikmatan tak ubahnya rasa sakit ?”
“Aku puas !”
“Enyahlah ! Pergi. Aku ingin sendiri.”
Saat kubuka mata ada sosokmu disebelahku. Kau masih berselimut, tapi kau telah terjaga dan kau memandangiku seperti anak kecil mengidamkan permen lollipop. Mau kemana ? aku tidak menjawab, aku bangkit dan langsung menuju kamar mandi. Kupandangi wajah itu. Wajahku. Atau orang lain yang selalu terlihat dicermin ? Aku tidak terlalu mengenalnya, seakan aku yang ada dicermin hanya tubuh asing yang kutumpangi. Terkutuklah kau daging. Jiwaku tak pantas kau hisap. Andai aku bebas dan gentayangan, akankah aku merasakan aku ?

Tapi air tetap dingin dan cair. Benda ajaib itu selalu aku kagumi. Bisa kita pecah dengan mudah tapi kembali bersatu walau tanpa diminta. Tak perlu gunting dan lem. Dan air adalah Dasamuka. Ia bisa selembek agar-agar, keras dalam bekunya es, dingin, panas, embun, kabut. Anomali air, seperti mata-mata yang ahli menyamar. Ia menyegarkan sekaligus mematikan. Sayang aku bukan air. Kapankah aku tenggelam ? Aku adalah angin, tanpa tujuan melayang. Terombang-ambing. Akankah aku patah. Aku lelah mengambang. Kutuklah aku jadi kayu, lalu bakarlah aku jadi abu. Aku tak ingin jadi seonggok daging. Yang kelak membusuk digerogoti mahluk putih lucu tak bertulang belakang namun dengan sadis melahap mayat. Kamu tanah. Kamu tanah. Debu jadi debu. Tanah kembali ketanah. Kapankah aku hanyut ?

Silet pencukur kulepas. Aku memandangi diriku didepan cermin. Takut. Kata itu terbentuk dengan cepat. Tiga pilihan, leher, lengan atau gagang pintu kamar mandi. Aku tak bisa memutuskan. Pengecut. Penakut. Kapankah aku hanyut ? Rasanya perih, mataku membelalak kaget. Rasa sakit seperti ratusan kejut listrik. Mengapa gerbang kebebasan tak menjanjikan kelembutan. Takut. Jantungku berdegup dalam nafas putus-putus. Sesalkah ? atau salam perpisahan ? Matikah ? atau awal kehidupan. Aku hanya ingin tak ada. Debu jadi debu. Tanah kembali ketanah. Kapankah aku hanyut ?

Carita Tengah Poe

Didieu karek hudang sare, didinya mereun can sare.
Langit cendeum asa pasosore, di tepas imah di baturan cikopi jeung hate nu teu hare-hare.
Kenape ye? Ape kusabab ane sono ka maneh ?
Bener ceuk si Asep. Hate ulah melak tineung.
Matak jadi ngabungbuleng, ati asa titeleum.
Jiga bereum katimpa hideung.
Beu ! Naha jadi ngacapruk. Pabeulit kawas aing boga buuk.
Piraku kudu rebonding, ameh hate teu galing, jeung sono bisa cicing.
Cing urang asaan ti ucing jeung ti kuda. Pusing atuh da !

Dia

Dia… yang namanya adalah puisi disetiap malam menjelang. Nama yang aku goreskan dikertas, dicermin, didinding, seolah nama itu adalah mantra-mantra sakti, yang bisa menangkal pelbagai macam bahaya dan nestapa. Nama yang pertama kali merasuk ke dalam sel-sel otak saat pertama ku membuka mata, dan dia nyata.

Dia …yang senyumnya adalah lampu bagi gelap dan pekatku. Senyum yang mampu meluluh-lantakkan segenap ego dan perasaan. Senyum yang akan tergambar dalam barisan awan-awan putih, terhanyut dalam rintik gerimis hujan, terbawa oleh semilir angin yang menyelusup ke celah gelisah, dan aku pun akan turut tersenyum-senyum karenanya, itu pasti.

Dia …yang tatapannya adalah cahaya yang menerangi hari laksana mentari. Tatapan yang menusuk dan menghujam kedalam hati. Tatapan yang tanpanya aku merasa tak terperhatikan dan tiada. Dimana singgasana bagi ketiadaan ? Apakah ketiadaan masih bisa memiliki arti ? Bukankah ketiadaan bak hening dalam sepi, kertas tanpa tinta, lirik tanpa kata, musik tanpa irama. Dan kini aku merasa …tiada.

Ada

Merasa, seakan menggenggam masa
Tidak ingin kehilangan tiap detik
Bekulah waktu

Biarkan aku merasa
Jangan sodorkan takut
Jangan ganggu

Aku ingin memilih
Setelah memilah tumpukan ingin
Adakah titik temu
Bila semua adalah satu

Tuesday, June 10, 2008

Hujan

Ngomong soal hujan, yang sering bikin hati jadi cair, yang bawa kenangan.
Kadang deras, kadang seperti gerimis, yang buat kita tersenyum miris.
Rintiknya tersorot cahaya lampu, ingatkan yang lampau, yang telah lalu.
Berdiri menunggu reda, angin yang basah, yang hujan bawa.
Membelai menyapa kulit, inilah dingin yang memeluk, buat kita menggigil, kadang terisak.
Luka meruaplah, tangis mengalirlah, mumpung hujan turun dan semua takut mengembun.
Semua rindukan hujan, ingin basah kuyup, agar hidup semua yang masih kuncup.

Ah, mungkin

Aku tersiksa
Ah, aku terbiasa
Aku marah
Ah, cerita lama
Aku sedih
Ah, itu yang kupunya
Aku kesepian
Ah, lalu apa ?
Aku ingin kau ada
Ya, itu yang kurasa
Aku rindu kamu
Ya, itu benar
Aku benci kamu
Ya, itu juga
Aku cinta kamu
Ya, pasti itu

Titik Temu

Kau hadir dan slalu hadir
Dalam terang dan gelap
Kau ada dan slalu ada
Saat tawa dan tangis tak terpisah

Kita bicara cinta
Bicara tentang dunia
Tentang siang dan malam
Bahkan tentang ketiadaan


Tak perlu kata atau perlambang
Tak perlu mengukir dengan tinta
Karena ku tahu kau ada…

Satu Hari

Jika harus mengingat kapan aku merasa bahagia, aku hanya akan memilih satu hari diantara ribuan hari yang telah kualami. Suatu hari saat aku menyadari bahwa aku mencintaimu. Angin bertiup kencang, membawa butiran air hujan dan menamparkannya kewajahku, seakan ingin bersaing dengan aliran kecil air mataku yang mengalir perlahan. Aku masih melihat dirimu pergi menjauh, basah kuyup tapi tetap melangkah sombong dan marah disela-sela tawamu.

Setiap jarak kita semakin menjauh hatiku malah semakin terhimpit oleh kedekatan kita yang tak masuk akal, kau semakin dekat dihati, terlalu dekat hingga aku merasa sesak, dipenuhi olehmu. Saat kau berbelok dan dimataku kau tak lagi ada, dadaku serasa remuk, karena kamu kini tak hanya memenuhi hati, melainkan telah menggantikan hati itu sendiri.

Apakah ini ajal ? Saat kesadaran tak lagi jadi sebuah pertanyaan. Atau ini hidup ? Saat tak perlu lagi jawaban atas apa yang belum terjawab. Aku duduk dibangku yang biasa kita gunakan berdua untuk diam berjam-jam, tanpa suara, tanpa tanya, tanpa otak kiri. Kita biasa terdiam lama, berbicara tanpa gunakan kata-kata.

Dalam diam kamu pernah bertanya, apa aku akan mengingatmu jika seandainya kita tak pernah bertemu. Dalam diam akupun menjawab dengan pasti “Ya, tak mungkin tidak”. Seperti jawaban-jawaban tanpa otak lainnya, yang sering kita ucapkan. Tapi saat ini aku tak perlu lagi menyingkirkan otakku untuk menjawab pertanyaan itu. Karena ku tahu jawabanku akan tetap sama “Ya, tak mungkin tidak”. Tapi kini ada satu kalimat lain yang menggenapi jawaban itu. “Karena aku telah menduakan aku sendiri untuk kamu”.







Jampe sare II

Wahai sang pemilik waktu, maaf kami berdua lagi-lagi mengganggu.
Langit telah hitam, tapi kami tak juga terpejam. Buatlah otak kami membumi, tuk diam sejenak lepas penat di benak.
Sang pemilik mimpi, karuniakan mimpi yang kan buat kami tersenyum pagi nanti.
Semua beban, ingin dan resah, angkatlah.
Wahai sang pemilik hati, ijinkan kami tertidur dan melebur jadi titik tanpa nama diluasnya jagad raya.

Jampe sare I

Tuhan, kami tahu kami kurang bersyukur padamu.
Kau telah gelapkan malam dan menidurkan matahari.
Mata kami terpejam tapi hati melayang.
Izinkan kami berdoa, lelapkan jiwa kami.
Berilah mimpi dan bangunkan kami dengan cahaya Matahari Mu,
makasih sebelumnya.

Puisi untuk yang patah hati

Malam gelap
Pekat, hitam dan dingin
Cecak memakan nyamuk itu, biar mampus !!!
Dan suara kodok, sumbang menyebalkan
Aku ingin membenci
Aku ingin kamu lenyap
Biarlah ku ditelan senyap
Agar tak ada lagi asa dan harap.

Satu-satunya

Adakah sebuah celah kecil dihatimu, tempatku bisa merebahkan lelah dan rindu.. Tanpa harus takut seribu luka akan menganga, tanpa harus kecut jika dendam mencinta kelak menggema. Aku tak ubahnya angin sepoi-sepoi yang mencoba robohkan kokoh pohon jati. Aku tak beda dengan tetesan embun pagi, yang ingin banjiri luas padang pasir. Atau aku hanya kerikil, yang mencoba mengumpulkan serpihan debu tuk membangun menara setinggi Semeru. Aku tak pernah tahu. Yang aku mengerti adalah kau yang bisa menggenapi.

Hati ini adalah bahasa tak terbaca, hanya lembaran harap dan tanya tanpa peta. Aku tak pernah tahu cara untuk menggapaimu, atau sekedar singgah mencuri tatapmu. Aku tak pernah tahu cara untuk membuat lengkung senyummu mengembang, atau cara agar tawamu menghapus dinginnya pagi dan kelamnya malam. Aku bukanlah lampu, yang mampu jadi pelita bagi hidupmu. Aku pun bukan api yang akan menghangatkanmu saat dingin mengusik. Tapi aku bisa jadi obat nyamuk atau racun serangga, sekedar untuk mengusir apapun yang mungkin menyakitimu.

Aku tak bisa bernyanyi untuk memikatmu dengan alunan lagu nan merdu. Aku tak pandai memetik dawai-dawai gitar demi mencipta irama sempurna yang akan iringi denting pianomu. Satu-satunya yang ku bisa hanyalah menyanyikan lagu nina bobo dengan nada sumbang sebagai pengantarmu tidur (walau mungkin kau malah terganggu dan susah tidur dibuatnya).

Sementara untukku kau adalah satu-satunya alasan mengapa hariku menjadi jingga dan berwarna. Satu-satunya alasan mengapa setiap detik menjadi barisan puisi meski sepi. Dan satu-satunya alasan mengapa tiap kata berarti dan memiliki makna. Walau ku yakin cinta tak mengenal batasan dan alasan. Cinta tak butuh aksara atau tinta. Cinta hanyalah perlu Ada.


Puisi untuk yang jatuh hati

Malam gelap
Nyamuk mengigit dan cecak memangsanya
Suara kodok bahu-membahu jadi lagu
Membuatku ingat kamu
Kamu yang lucu
Kamu yang manis bak gula
Biarkan aku
Sang semut mengemutmu

Puisi Para Pemimpi

Kisah ini untuknya, Sang dewi cinta
Yang ada dikepala para pemimpi
Dihati, dalam nadi, saat ramai ataupun sepi
Kala pagi, diterik mentari, atau saat jingga pergi

Dia yang berbisik, dia yang mengusik
Dia yang memikat, dia yang memaku hasrat
Saat bicara juga saat tanpa kata
Saat ada juga saat tak kasat mata

Para pemimpi melarung sesaji
Rapalkan mantra-mantra suci
Mencoba memanggil purnama
Saat kelam cekam cahaya

Tapi Batara Syiwa murka
Sang Kala dipaksa diam membungkam
Waktupun beku membatu
Gugurkan mimpi satu-persatu
Terdengarlah tangis, dari harapan yang kalis
Mantra suci berganti jerit dera nestapa
Langitpun kian hitam
Satu hari berganti seribu malam

Tak ada cahaya, tak ada cinta

Seribu warsa waktu berlalu
Percik cahaya terbit tak dinyana
Batara Kala kisut oleh Sang Wisnu
Hidupkan kembali mimpi satu-persatu

Ternyata cinta bukan tak bisa
Cinta hanya tak biasa

Para pemimpi kembali larung sesaji
Rapalkan mantra-mantra suci
Tarian sakral memuja purnama
Yang kini kian bercahaya

prolog

Blog ini berisi segala racauan, igauan, impian, dan kata-kata tak penting yang keluar kalau saya sedang pusing. Blog ini juga berisi doa-doa dan jampi-jampi saya saat merasa takut, kecut atau sedang cemberut. Blog ini juga berisi rayuan, puji-pujian dan harapan yang mungkin terdengar mengharukan bila anda baca dimalam hari tanpa penerangan lampu.

Dan yang terpenting adalah, Blog ini merupakan sebuah persembahan/ sesaji, teruntuk seseorang yang 26 tahun yang lalu lahir ke bumi dan lalu membenci atau tak bersimpati dengan mahluk yang bernama kodok.

14 tahun yang lalu saya dipertemukan dengannya. Saat itu mahluk yang gemar menulis diary sejak masih cupu ini menatapku dengan pandangan curiga karena saya menjawab pertanyaan seorang guru, dan dia tak suka itu, karena dia terlebih dahulu mengacungkan tangan untuk menjawab. Aroma persaingan pun ia tebarkan sejak saat itu.

Dia dulu Bos saya, saat dia menjabat sebagai ketua Osis, dan saya adalah anak buah paling rajin membantah dan beralasan saat menerima perintahnya.

Dia dulu tempat sampah saya, saat saya curhat padanya bahwa saya mengalami cinta mati pada temannya sambil memegang garpu yang tanpa sadar terbawa dari kantin (saya lupa apa garpu itu saya kembalikan).

Dia dulu pacar saya, waktu 17 Agustus 2005 kita berikrar untuk mencoba bereksperimen menjadi sepasang kekasih yang mabuk kepayang demi pembuatan Novelnya yang berakhir tragis karena Komputernya mleduk.

Dia dulu penggemar saya, Dia paling gemar memberi saya motivasi saat saya pesimis pada hidup yang tak selalu indah dan menyenangkan. Dia orang yang selalu membuat saya percaya, bahwa saya harus percaya pada diri saya sendiri.

Dia pendongeng pribadi saya, yang rela mulutnya berbusa demi memenuhi rengekan saya untuk mendengarkan dongeng sebagai obat tidur.

Dia adalah Partner in Crime saya, saat kita berdua sembunyi dan lari dari hiruk-pikuk hidup, dan mencari nirwana dipuncak stupa Borobudur.

Dia adalah saksi hidup saya

Dan untuknyalah igauan, racauan, mimpi, doa, dan jampi dalam Blog ini saya haturkan.