Ada masa saat kau tampak mengerti. Tersenyum penuh arti, mengerling atau sekedar ada dalam diam. Aku tak perlu banyak ungkapan dalam kata, dalam syair ataupun lagu darimu. Aku hanya ingin kamu. Kamu yang mendengarkan, kamu yang berusaha keras untuk mengerti, kamu yang bertanya, atau kamu yang mengungkapkan rindu dengan malu-malu. Aku rindu keberadaanmu saat kuterjaga. Merasa ada untuk dan denganmu. Memikirkan arti dari tiap kata-kata saat bersamamu. Ataupun mengartikan tiap bahasa yang kita ucapkan tanpa kata.
Kamu dulu duduk dikursi ini, tempat yang kini aku duduki. Aku hirup udara, mencari-cari aroma yang mungkin membawaku pada kenangan. Membawa kembali pada dirimu yang tertawa oleh leluconku yang garing. Memperhatikan kerut alismu saat sedang tidak mengerti atau curiga. Melihatmu membuang muka saat marah, menangis atau malu. Dan melihat diriku dimatamu.
Mataku menerawang. Ruang yang sama dan perasaan yang sama, tapi jauh tersekat waktu. Aku tersenyum saat melihat lukisan Durga disehelai kertas putih yang kini sudah kecoklat-coklatan. Dulu aku buatkan gambar itu, dan aku bilang padamu bahwa mulai saat ini kau akan selalu terlindungi dari mimpi buruk. Masih ada beberapa buku yang tersusun diatas meja belajar, buku-buku yang kuberikan padamu dihari yang menurut kita istimewa. Kembali kuingat wajahmu yang serius bila sedang membaca, alis yang sedikit megangkat bila menemukan kalimat yang rumit, dan senyummu yang muncul bila kau mendapatkan kata-kata romantis ataupun sentimental.
Dikursi ini pula kita biasa ngobrol hingga larut malam, membicarakan apapun yang melintas dikepala. Bila udara terasa dingin, dengan manja kau lingkarkan sebelah tanganmu padaku, dan kepalamu menyandar dibahuku sementara matamu mengimpi. Wangi rambutmu masih bisa kucium. Aku biasa memainkan helai rambutmu, menciumnya, dan terkadang mengacaknya saking gemas. Jarimu yang lentik masih bisa kurasakan dalam genggaman. Terkadang kita bisa berjam-jam tidak bicara satu sama lain, kita hanya akan mendengarkan desah nafas, detak jantung, mencoba berbahasa tanpa suara. Dan mata kita saling menatap, saling mengerti. Perlahan kita saling berciuman, menikmati sensasi mistis saat bibir kita berpagut. Dan aku hanya bisa mengerang kalah saat cubitanmu mendarat bila aku menciummu penuh nafsu. Kamu tak suka itu. Karena menurutmu ciuman lembut adalah bunga cinta, sedangkan ciuman yang dalam adalah hasrat dan emosi. Aku tidak menyangkalnya, juga tidak membenarkan. Karena bagiku batasan keduanya tak berarti, bukankah cinta tanpa emosi layaknya lilin tanpa nyala api.
Air mata mengalir tanpa isak. Ada sakit, ada luka dan air mata yang sekedar ingin membasuh itu semua. Dingin yang ganjil, perpaduan sepi dan hadirnya kenangan tentangmu. Malam ini tak ada bedanya dengan ribuan malam tanpa atau dengan hadirnya kerlip bintang. Aku terhisap makin dalam, mempertanyakan gerak nasib yang mengenyahkanku dari semua yang kucintai. Apakah hidupku hanya rangkaian sesal dan kehilangan. Rasa getir membuncah, sekelilingku seakan dengan manja menghina. Mengolok-olok kubangan mimpi yang selama ini ingin terpenuhi. Mimpi-mimpi simbolik, ikatan kental antara harapan dan ketakutan. Dan disanalah kutempatkan dirimu dengan anggun, merajai singgasana khayal dan bawah sadar. Baru kusadari semua ini, saat kau pergi.
Kau bilang ingin cinta yang sederhana. Sederhana ? aku tertawa melecehkan. Apakah cinta itu bisa sederhana, bila kesederhanaan itu kau tuntut. Kamu diam. Matamu tertuju pada pintu kamar, mungkin menurutmu aku akan melangkah keluar, seperti yang biasa terjadi disaat seperti ini. Tidak. Aku takkan melakukannya, meski langkah itulah yang sedari tadi ingin kulakukan . Tidak akan kulakukan itu, karena aku tidak ingin membenarkan apa yang ada dalam pikiranmu. Akulah yang memegang tali kekang. Kamu seharusnya tahu, hubungan ini perlu kendali. Dan bila kau tak bisa berikan itu, maka ikutlah padaku. Demi kita. Demi aku.
Dan kamu tetap diam. Tak membenarkan juga tak berani menyalahkan. Apakah sikap diam itu berarti mengerti, mengalah, atau pasrah. Diam tanpa sikap, kebiasaanmu yang paling kucintai sekaligus kubenci. Aku tertawa, kali ini entah apa yang kutertawakan, tapi semua ini sangatlah menggelikan. Butuh jutaan tahun bagi manusia untuk berevolusi, dari mulai hanya kumpulan sel tunggal dikolam panas, hingga saatnya merangkak untuk kemudian berjalan tegak (manusia selalu benci dengan teori Darwin, terhina dianggap bermoyang monyet. Takutkah mengakui bahwa didalam diri kita ada sifat binatang). Butuh berapa juta tahun cahayakah, hingga akhirnya manusia tak lagi berlindung dari prasangka dan kemunafikan. Apakah tanpanya kita merasa telanjang dan malu. Bukankah moyang kita dulu telanjang. Bukankah kejujuran itu harus telanjang. Ah, pertanyaan itu bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk diriku sendiri. Dan kata telanjang itu diotakku yang sebesar kacang merah hanya membuat penisku ereksi. Telanjang bagiku berwujud puting payudara dan rambut yang mengelilingi clitoris Betapa sederhananya aku dibandingkan hewan. Karena nalurilah yang pada akhirnya mengambil peran. Lupakan filsafat, moralitas, dan etika. Karena kita hanyalah hewan yang pintar mencari pembenaran, bukan kebenaran.
Seteguk arak beras membuat perutku hangat, hangatnya menyebar, betapa kesenangan kini mulai mahal dan tak murni. Tawa kini tak bisa berderai lepas tanpa ditemani alkohol. Begitu pun kesedihan, air mata tak lagi nikmat. Mengalir tanpa isak dan membuat jengah. Beban yang harusnya tumpah bersama air mata, ternyata semakin menumpuk saat butiran air itu mengering tersapu angin.
“Aku mencintaimu”.
“Maafkan aku.”
Sekelilingku berpendar. Ruangan ini memudar. Tapi bayangmu makin jelas, hangat nafasmu sebening gelas kristal tertimpa cahaya lampu neon. Hatiku tertohok, sesak oleh sakit yang ku tak tahu mengapa. Aku berdiri agak terhuyung, reaksi alkohol telah membuatku hilang keseimbangan. Dan ternyata saat kita tak lagi peduli pada keseimbangan, suara malam layaknya simfoni agung. Paduan suara jangkrik dihalaman depan kini mulai bisa dimengerti. Seperti suara panggilan, panggilan kerinduan, undangan, dan kehilangan. Mereka saling berbalas, memberikan kabar atau sekedar sapaan, atau mereka semua menertawakanku ? Dan aku tertawa miris, aku mulai gila, atau aku ada dibatas kegilaan, batas tipis yang membuat kalang-kabut mahluk bernama manusia. Apakah kegilaan adalah saat kita mempertanyakan kesadaran ? Bukan. Kegilaan bukan berarti tak sadar, bukankah kita selama ini melakukan dengan atau tanpa sadar apa yang diperintah bawah sadar. Bukan. Kegilaan tak harus menyalahkan alam bawah sadar. Adakah alam bawah sadar dalam kegilaan ? Barangkali kegilaan adalah kesadaran untuk berani lepas dari dogma tentang kesadaran yang telah dijejalkan ke otak usang kita selama ini.. Mengenyahkan semua ikatan duniawi. Saat mengaku waras kita menganggapnya khayal, tapi apa yang terjadi bila khayal itu lebih nyata dari apa yang kita anggap kenyataan ? Ah…aku terlalu mabuk untuk menjawab. Tapi bahkan saat tak mabuk pun aku tak pernah bisa menjawab. Semuanya adalah tanya, dan jawaban adalah sebuah pertanyaan yang baru lahir.
Aku rebah disofa disudut ruangan. Kumatikan lampu hingga gelap yang nikmat tidak menyisakan ruang. Aku ingin sendiri. Aku ingin tak ada.
“Aku mencintaimu dengan sepenuh benci.”
“Rasakan, tubuh kita bersatu, mengapa kenikmatan tak ubahnya rasa sakit ?”
“Aku puas !”
“Enyahlah ! Pergi. Aku ingin sendiri.”
Saat kubuka mata ada sosokmu disebelahku. Kau masih berselimut, tapi kau telah terjaga dan kau memandangiku seperti anak kecil mengidamkan permen lollipop. Mau kemana ? aku tidak menjawab, aku bangkit dan langsung menuju kamar mandi. Kupandangi wajah itu. Wajahku. Atau orang lain yang selalu terlihat dicermin ? Aku tidak terlalu mengenalnya, seakan aku yang ada dicermin hanya tubuh asing yang kutumpangi. Terkutuklah kau daging. Jiwaku tak pantas kau hisap. Andai aku bebas dan gentayangan, akankah aku merasakan aku ?
Tapi air tetap dingin dan cair. Benda ajaib itu selalu aku kagumi. Bisa kita pecah dengan mudah tapi kembali bersatu walau tanpa diminta. Tak perlu gunting dan lem. Dan air adalah Dasamuka. Ia bisa selembek agar-agar, keras dalam bekunya es, dingin, panas, embun, kabut. Anomali air, seperti mata-mata yang ahli menyamar. Ia menyegarkan sekaligus mematikan. Sayang aku bukan air. Kapankah aku tenggelam ? Aku adalah angin, tanpa tujuan melayang. Terombang-ambing. Akankah aku patah. Aku lelah mengambang. Kutuklah aku jadi kayu, lalu bakarlah aku jadi abu. Aku tak ingin jadi seonggok daging. Yang kelak membusuk digerogoti mahluk putih lucu tak bertulang belakang namun dengan sadis melahap mayat. Kamu tanah. Kamu tanah. Debu jadi debu. Tanah kembali ketanah. Kapankah aku hanyut ?
Silet pencukur kulepas. Aku memandangi diriku didepan cermin. Takut. Kata itu terbentuk dengan cepat. Tiga pilihan, leher, lengan atau gagang pintu kamar mandi. Aku tak bisa memutuskan. Pengecut. Penakut. Kapankah aku hanyut ? Rasanya perih, mataku membelalak kaget. Rasa sakit seperti ratusan kejut listrik. Mengapa gerbang kebebasan tak menjanjikan kelembutan. Takut. Jantungku berdegup dalam nafas putus-putus. Sesalkah ? atau salam perpisahan ? Matikah ? atau awal kehidupan. Aku hanya ingin tak ada. Debu jadi debu. Tanah kembali ketanah. Kapankah aku hanyut ?